Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Makalah Masuknya Agama Islam di Jawa - Free Download Makalah Gratis

 BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
    Proses islamisasi di tanah Jawa telah terjadi, dan masih akan terus berlanjut untuk waktu yang akan datang. Bagaimana bentuk proses yang akan datang sangat bergantung pada para pelaku yang akan terlibat dalam dan sekitarnya, baik bagi yang berkepentingan agar berjalan lebih baik atau sebaliknya. Perjalanan islamisasi yang telah berlangsung selama lebih dari 12 abad yang lalu, akan member bahan kajian yang menarik untuk diambil hikmahnya. Demikian pula latar belakang terbentuknya bangsa dan budaya jawa sejak jauh sebelum agama-agama besar masuk, tidak dapat dilepaskan begitu saja.

***
Download Makalah Masuknya Agama Islam di Jawa  

>>DOWNLOAD<< 
***
   
   Di bidang penyebaran agama, Islam sebenarnya sudah masuk ke Jawa pada abad ke 7 masehi. Akan tetapi kuatnya keyakinan masyarakat pada agama Hindu, Budha dan Animisme, tidak tergoyahkan oleh agama baru. Oleh karena itu barulah pada abad ke 15 agama islam telah mampu memberi petunjuk bagi masyarakat Jawa dalam mengembangkan masalah-masalah sosial, ekonomi, kebudayaan dan ilmu pengetahuan.

1.2 Rumusan Masalah
1.    Bagaimana teori-teori Masuknya Islam di Jawa?
2.    Bagaimana teori-teori Penyebaran Islam di Jawa?
3.    Bagaimanakah peran Walisongo di Jawa?

1.3 Tujuan Makalah
1. Untuk mengetahui Bagaimana teori-teori Masuknya Islam di Jawa
2. Untuk mengetahui Bagaimana teori-teori Penyebaran Islam di Jawa
3. Untuk mengetahui Bagaimanakah peran Walisongo di Jawa



BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Teori-teori Masuknya Islam di Jawa
Sejarah awal Islam Jawa masih sangat kabur. Konsensus kesarjanaan mengakui adanya program yang signifikan berkaitan dengan asal muasal dan ihwal persebaran Islam di Asia Tenggara, yang mungkin tidak akan pernah dituntaskan secara utuh karena kurangnya sumber-sumber yang bisa di percaya yang mencatat periode kontak dan konversi tersebut (Drewes 1968). Diakui memang sudah ada kalangan muslim di Jawa pada akhir abad ke 14 dan juga dikraton Majapahit. Proses transisi dan konversi penduduk Jawa Tengah ke Islam bersifat gradual, tak merata, dan terus berlangsung hingga kini. Data tradisonal mengenahi jatuhnya Majapahit, kerajaan Hindhu-Jawa besar terakhir adalah tahun 1478. Sumber-sumber Cina menunjukkan bahwa komunitas-komunitas muslim sudah ada dikawasan pantai utara pada dekade-dekade awal abad ke 15.

Karena itu, sama sekali tidak mungkin bisa sampai pada kesimpulan yang tegas berkaitan dengan kedatangan Islam menguasai kehidupan keagamaan dan politik di Jawa Tengah. Factor lain yang masih di perhatikan komunitas muslim pertama tersebut juga berdiri, terutama dari pada pedagang yang terlibat dalam perdagangan rempah-rempah lautan India. Para pedagang ini baru mengikut sertakan para guru agama sesudah mereka mendirikan komunitas-komunitas yang permanen. Dengan demikian, jalinan antara perdagangan dan konversi sangatlah erat, tetapi tidak langsung.

Selain itu, abad ke 15 dan ke 16 di Jawa merupakan transmisi sekaligus transisi politik dari kerajaan Hindhuisme atau Buddhisme Majapahit ke kesultanan Demak yang merupakan monarkhi absolute Islam pertama di Jawa sebelum posisinya digantikan Mataram Islam diakhir abad ke 16. Pada bentangan abad ini juga ditandai dengan munculnya semacam “Negara-kota” dan kerajaan-kerajaan kecil berbasis Islam yang merata di pesisir Utara Jawa sejak Banten dan Sunda Kelapa di ujung barat Pulau Jawa hingga Tuban, Gresik dan Surabaya di Jawa Timur. Dengan kata lain, pada bentangan abad ke 15/16 telah terjadi proses revolusi keagamaan yang mencukup mengagumkan. Jadi, pada abad ke 15 dan ke 16 merupakan wujud nyata penampilan Islam dalam pengertian “society” yang terstruktur dan bukan lagi “community” yang sporadis. Sementara “Jawa Pesisiran” yang dijadikan sebagai subjek riset dan bukan “Jawa Pedalaman” didasarkan pada argumen bahwa proses islamisasi yang berlangsung di Pulau Jawa ini di mulai dari kota-kota di pesisir utara jawa seperti Banten, Sunda Kelapa, Cirebon, Semarang, Demak, Kudus, Jepara, Tuban, Gresik, dan Surabaya sebelum agama baru ini merangsek ke pelosok-pelosok pedalaman Jawa. Selain itu, sejarah demografis, kota-kota di pesisir Jawa merupakan pusat pertumbuhan penduduk karena pada abad ke 15/16 telah terjadi proses urbanisasi dalam skala cukup besar yang di mungkinkan disebabkan tuntutan ekonomi karena sistem agraris yang bertumpu pada teknologi persawahan  di pedalaman tidak lagi menjanjikan secara ekonomi, dan sebaliknya sistem perdagangan dan pelayaran di pesisirlah yang di anggap mempunyai prospek yang cukup cerah. Dengan demikian, mengkaji masyarakat Jawa Pesisir sangat proporsional (meskipun tidak dapat “mewakili”) keseluruhan masyarakat Jawa.

Ada beberapa kesulitan yang ditemukan dalam rangka menulis sejarah masuknya Islam di Jawa. Kesulitan utama yang akan segera ditemui adalah kurangnya bukti-bukti otentik yang dapat dipercaya yang menunjukkan tentang masuknya Islam di Jawa. Kalaupun kemudian ditemukan bukti-bukti, tetapi karena sangat minim, akan menimbulkan kesulitan pula dalam mengidentifikasi sumber-sumber yang ada. Namun demikian, hal itu tidak berarti bahwa tidak dimungkinkan adanya pembuktian.

Masuknya Islam di Jawa sampai sekarang masih menimbulkan hasil telaah yang beragam. Ada yang mengatakan Islam masuk ke Jawa sebagaimana Islam datang ke Sumatera, yang di yakini abad pertama hijriyah atau abad ke 7 masehi.
Adapun bukti pertama Islam di Jawa adalah sebagai berikut:
a.    Makam
Bukti sejarah yang paling faktual adalah ditemukannya batu nisan  kubur Fatimah Binti Maimun di Leran Gresik yang berangka tahun 475 H (1082 M). Pada nisan makam itu tercantum prasasti berhuruf dan berbahasa arab, yang menyatakan bahwa makam itu adalah kubur Fatimah Binti Maimun Bin Hibataullah yang meninggal pada tanggal 7 Rajab 475 H bertepatan dengan tanggal 1 Desember 1082 M, yang berarti masih dalam zaman Kediri (1042-1222 M). Di kampung Gapuro kota Gresik juga terdapat makam kuno, yaitu kubur Malik Ibrahim yang meninggal tanggl 12 Rabiul Awal 822 H bertepatan dengan 8 April 1419.

b.    Masjid
Sumber sejarah dalam bentuk arkeologi yang berupa bangunan masjid juga dapat di temukan di Jawa. Berdirinya sebuah masjid di suatu wilayah akan memberikan petunjuk adanya komunitas muslim di wilayah tersebut. Masjid menjadi tempat utama tidak saja dalam beribadah kepada Tuhan, tetapi lebih dari itu masjid di kalangan umat Islam berfungsi sebagai Islamic Center. Hal yang sama fungsi itu juga tampak pada masjid-masjid yang didirikan Nabi Muhammad SAW. Untuk menyebut masjid-masjid di Jawa yang awal memang membutuhkan penelitian tersendiri. Namun kalau di lihat dari corak arsitekturnya, majid-masjid di Jawa pada garis besarnya beratap tumpang, berdenah persegi, berukuran relatif besar, terdiri atas ruang utama pesantren-serambi, mempunyai ruang mihrab, ada tempat mengambil air wudhu, ada kolam di depan serambi, dan mempunyai pagar keliling. Selain itu, di dalam bangunan masjid terdapat beberapa kelengkapan tergantung pada jenis masjidnya, antara lain mimbar, maqsuroh, beduk, kentongan. Tentang menara, masjid kuno di Jawa kebanyakan justru tidak memilikinya. Masjid-masjid kuno di Jawa tidak banyak mempunyai ornamentasi, kecuali pada mimbarnya.

Lebih jauh G.F Pijper menjelaskan bahwa ciri khas masjid di Jawa ialah di bangun di sebelah barat alun-alun, sebuah lapangan persegi yang di tanami rumput, dan terdapat hampir di semua kota kabupaten dan kecamatan.

2.2 Teori-teori Penyebaran Islam di Jawa
Pengislaman terjadi secara damai karena metode yang digunakan para wali dalam berdakwah menggunakan metode yang sangat akomodatif dan lentur, yakni dengan menggunakan unsur-unsur budaya lama (Hinduisme dan Buddhisme), tetapi secara tidak langsung memasukkan nilai-nilai Islam ke dalam unsure-unsur lama itu. Mereka sangat tekun dan benar-benar memahami sosiokultural masyarakat Jawa. Metode ini sering disebut dengan metode sinkretisme.

Di samping cara-cara tersebut, masih ada cara-cara lain yang digunakan oleh para wali dalam mengislamkan masyarakat Jawa. Antara lain:
1.    Melalui jalur perkawinan, menjalin hubungan geneologis dengan berbagai tokoh masyarakat ataupun pemerintahan, sebagaimana yang dilakukan oleh Sunan Ampel dalam mengawinkan putra-putranya

2.    Melalui jalur pendidikan, dengan mengembangkan pendidikan pesantren. System pendidikan pesantren ini mula-mula dirintis oleh Syekh Maulana Ibrahim di daerah Gresik, suatu model pendidikan Islam yang mengambil bentuk pendidikan biara dan pendidikan asrama yang dipakai oleh pendeta biksu dalam mengajar dan belajar. Para murid yang belajar di pesantren disebut santri. Konon kata santri berasal dari kata shastri, yang dalam bahasa India berarti orang-orang yang mengetahui buku-buku suci agama Hindu. Sunan Ampel juga mendirikan pesantren di Ampel Denta, dan di pandang sebagai tokoh yang paling berhasil dalam mengembangkan pesantren.

3.    Melalui jalur pengembangan kebudayaan Jawa, khususnya dalam bidang kesenian. Dalam hal ini yang berperan mengembangkan seni dan kebudayaan adalah Sunan Bonang yang di bantu oleh Sunan Kalijaga. Perayaan sekaten yang di pusatkan di alun-alun Surakarta ataupun Yogyakarta dan dihadiri oleh segenap khalayak merupakan suatu wujud kreasi budaya agama dalam rangka memperingati hari lahir Nabi Muhammad SAW yang berpuncak pada pembacaan Siratun Nabi (riwayat hidup Nabi SAW) dan sedekahan, dengan membagi-bagikan makanan hadiah dari Sultan di Masjid Besar.

4.    Melaui jalur politik, di upayakan dengan membentuk peraturan-peraturan ketataprajaan. Dalam bidang politik kenegaraan, yang berperan mengembangkan adalah Sunan Giri. Bilau menyusun peraturan-peraturan ketataprajaan dan pedoman tata cara kraton. Sunan Giri banyak memegang peran dalam mendirikan kerajaan Islam di Demak, Pajang dan Mataram dibantu oleh Sunan Kudus yang ahli dalam bidang perundang-undangan, pengadilan dan mahkamah.

Fakta lain menunjukkan bahwa sejarah islamisasi di Nusantara termasuk Jawa, justru menunjukkan para penguasalah yang berperan besar dalam proses penyebaran Islam di kawasan ini. Islamisasi di Nusantara, lebih khususnya di Jawa  tidak dilakukan lewat “strategi cultural” sebagaimana selama ini dipedomani oleh banyak sejarahwan, melainkan “strategi structural”, yakni melalui jaring-jaring kekuasaan interlokal. Penaklukan demi penaklukan terus berlangsung sepanjang sejarah sejak Islam mendapat ruang politik dan berkesempatan memimpin sebuah dinasti. Cirebon juga Banten secara continue melakukan penyebaran Islam ke berbagai wilayah kekuasaan Galuh/Pajajaran di Jawa Barat/Pasundan. Rezim Giri di Gresik juga memperluas keislaman khususnya di Jawa Timur (bahkan jaringan Giri ini sampai keluar Pulau Jawa). Sementara Demak dengan antusiasnya mengislamkan basis-basis Hinduisme-Buddhisme di pedalaman Jawa Tengah bahkan sampai Pasuruan dan Penarukan yang merupakan basis pertahanan Hinduisme terakhir di ujung timur pulau Jawa, meskipun gagal.

2.3 Peran Walisongo di Jawa
“Walisongo" berarti sembilan orang wali. Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Dradjad, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, serta Sunan Gunung Jati. Mereka tidak hidup pada saat yang persis bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah juga dalam hubungan guru-murid.

Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia. Khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat "sembilan wali" ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.

Masing-masing tokoh tersebut mempunyai peran yang unik dalam penyebaran Islam. Mulai dari Maulana Malik Ibrahim yang menempatkan diri sebagai "tabib" bagi Kerajaan Hindu Majapahit; Sunan Giri yang disebut para kolonialis sebagai "paus dari Timur" hingga Sunan Kalijaga yang mencipta karya kesenian dengan menggunakan nuansa yang dapat dipahami masyarakat Jawa -yakni nuansa Hindu dan Budha

Adapun cara-cara lain yang dipakai para wali dalam menghadapi budaya lama (Hindu) itu adalah:
1.    Menjaga, memelihara (keeping) upacara-upacara, tradisi-tradisi lama, contoh menerima upacara tingkeban, mitoni.
2.    Menambah (addition) upacara-upacara, tradisi-tradisi lama dengan tradisi baru, contoh menambah perkawinan Jawa dengan akan nikah secara Islam.
3.    Menginterpretasikan tradisi lama kearah pengertian yang baru atau menambah fungsi baru (modification) terhadap budaya lama, contoh wayang disamping sebagai sarana hiburan juga sebagai sarana pendidikan.
4.    Menurunkan tingkatan status atau kondisi sesuatu (devaluation) dari budaya lama, contoh status dewa dalam wayang diturunkan derajatnya dan diganti dengan Allah.
5.    Mengganti (exchange) sebagian unsure lama dalam suatu tradisi dengan unsure baru, contoh slametan atau kenduren motifasinya diganti.
6.    Mengganti secara keseluruhan (substitution) tradisi lama dengan tradisi baru, sembahyang di kuil diganti dengan sembahyang di masjid sehingga tidak ada unsur pengaruh hindu di masjid.
7.    Menciptakan tradisi, upacara baru (creation of new ritual) dengan menggunakan unsure lama, contoh penciptaan gamelan dan upacara sekaten.
8.    Menolak (negation) tradisi lama, contoh penghancuran patung-patung budha di candi-candi sebagai penolakan terhadapan penyembahan patung.

Metode dakwah Walisongo mengalami perubahan yang cukup penting sejak akhir abad ke 15, yaitu dengan masuknya anggota Walisongo keturunan bangsawan pribumi.  Perubahan metode dakwah yang di maksudkan disini adalah digunakan kesenian Jawa sebagai alat untuk memikan hati orang Jawa untuk masuk Islam. Tokoh Walisongo yang menggunakan kesenian untuk dakwah ini adalah Sunan Bonang, yang kemudian dilanjutkan oleh Sunan Kalijaga dan di ikuti oleh Sunan Kudus, Sunan Muria dan sebagainya. Di samping anggota Walisongo angkatan pertama dan kedua, wali yang tidak mau menggunakan kesenian untuk alat dakwah adalah Sunan Ampel dan Sunan Giri.

Hasil yang dicapai oleh para wali, di samping mengislamkan masyarakat lapisan bawah, para tokoh masyarakat, juga tokoh penting lapisan atas yang kemudian diikuti oleh anak negeri yang ada dalam pengaruh kekuasaannya. Seperti halnya sunan Ampel yang mengislamkan Adipati Arya Damar, istri dan anak Negerinta di Palembang, Prabu Brawijaya dan permaisurinya, Putri Darawati, dan Sri Lembu peteng dari Madura, demikian juga sunan Kalijaga berhasil mengislamkan Adipati Semarang, Ki Tembayat, dan masih banyak lagi tokoh yang lain.

Di antara faktor-faktor penyebab keberhasilan mereka, di samping keuletan, kejujuran, dan sifat-sifat keutamaan lain yang mereka miliki adalah Islam merupakan agama yang mempunyai upacara agama yang lebih sederhana dibandingkan dengan agama Hindu dan lebih menekankan aspek sosial. Metode pengislaman yang sangat mudah, yaitu orang hanya diminta untuk penyaksian dengan kalimat Syahadat.

Hikmah yang dapat dipetik dari metode dakwah Walisongo adalah perlunya dibangun pusat-pusat pendidikan yang mampu menciptakan kader dengan integritas Islam murni sesuai dan konsekuen melaksanakan jiwa kalimat syahadat. Inilah yang perlu kita lakukan di abad ke-21 dan seterusnya dalam rangka membina Islam di Indonesia. Dengan kader yang berintegritas Islam sesuai dengan jiwa kalimat syahadat, maka kalau kader tersebut menjadi tokoh politik dan pemerintahan tentu selalu mengutamakan kepentingan Islam memperhatikan kepentingan seluruh golongan, bukan mengutamakan kepentingan kelompok, apalagi kepentingan pribadi. Kalau menjedi penyebar agama, yang diajarkan adalah meneruskan amant Rasulullah SAW, bukan mengajarkan Islam yang penuh dengan bid’ah dan khurafat.



BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Masuknya Islam di Jawa sampai sekarang masih menimbulkan hasil telaah yang beragam. Ada yang mengatakan Islam masuk ke Jawa sebagaimana Islam datang ke Sumatera, yang di yakini abad pertama hijriyah atau abad ke 7 masehi. Akan tetapi kuatnya keyakinan masyarakat pada agama Hindu, Budha dan Animisme, tidak tergoyahkan oleh agama baru. Oleh karena itu barulah pada abad ke 15 agama islam telah mampu memberi petunjuk bagi masyarakat Jawa dalam mengembangkan masalah-masalah sosial, ekonomi, kebudayaan dan ilmu pengetahuan.

Penyebaran agama islam di Pulau Jawa tidak lepas dari peran walisongo. Mereka sangat memahami sosiokultural masyarakat Jawa. Dalam berdakwah mereka menggunakan metode yang sangat akomodatif dan lentur, yaitu dengan menggunakan unsur-unsur budaya lama tetapi didalam unsur-unsur tersebut mengandung nilai-nilai keislaman. Sehingga masyarakat Jawa dapat menerima ajaran tersebut tanpa adanya pemaksaan.

Dari sumber yang lain menunjukkan bahwa sejarah islamisasi di Nusantara termasuk Jawa, justru menunjukkan para penguasalah yang berperan besar dalam proses penyebaran Islam di kawasan ini. Islamisasi di Nusantara, lebih khususnya di Jawa  tidak dilakukan lewat “strategi cultural” sebagaimana selama ini dipedomani oleh banyak sejarahwan, melainkan “strategi structural”, yakni melalui jaring-jaring kekuasaan interlokal. Penaklukan demi penaklukan terus berlangsung sepanjang sejarah sejak Islam mendapat ruang politik dan berkesempatan memimpin sebuah dinasti.

3.2 Saran
Demikian makalah ini kami buat, pemakalah sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, karena sempurna hanya milik Allah semata. Maka dari itu kritik dan saran dari pembaca yang budiman sangat kami nantikan untuk perbaikan tulisan kami yang selanjutnya. Jika ada kelebihan itu semata-mata dari Allah semata, dan jika ada kekurangan itu semata-mata dari kami.



DAFTAR PUSTAKA

Anasom. 2000. Islam dan Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Gama Media.

 R. Rooddward, Mark. 2008. Islam Jawa: Kesalehan Normatif versus Kebatinan. Yogyakarta: LKiS.
Simon, Hasanu. 2008. Misteri Syekh Siti Jenar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sofwan, Ridin. 2004. Merumuskan Kembali Interelasi Islam-Jawa. Yogyakarta: Gama Media.

Anisa. 2015. Makalah Masuknya Islam di Jawa. http://4shared.com. Diakses pada: Rabu, 8 Agustus 2018

Istavita Utama. 2018. Makalah Masuknya Agama Islam di Jawa. http://underpapers.blogspot.com. Diakses pada: Rabu, 8 Agustus 2018


Download Makalah Masuknya Agama Islam di Jawa

>>DOWNLOAD<< 

 Cara Download File

> DOWNLOAD APLIKASI MAKALAH SHARPA <