Makalah Pemukiman Penduduk - Free Download Makalah Gratis
BAB I
PENDAHULUAN
Fenomena rumah sewa atau biasa disebut rumah kontrakan telah menjamur di berbagai tempat, salah satunya di kawasan kumuh yang banyak dijumpai diperkotaan. Berbagai dampak negatif ditimbulkan oleh fenomena kontrakan di permukiman kumuh. Pemerintah bukan tidak memiliki solusi dalam mengatasi fenomena tersebut, namun realisasinya pemerintah kebingungan untuk mengatasi masalah tersebut. Kompleksitas pembenahan permukiman kumuh adalah dari segi sosial masyarakat dan meningkatnya kebutuhan akan perumahan yang menjadi penghambat penanganan fenomena kontrakan di permukiman kumuh milik penduduk yang kini sudah dibilang tidak mengindahkan lagi.
Rumah kontrakan merupakan salah satu bagian terpenting dari fenomena perumahan di Indonesia, terlebih di kalangan berpendapatan rendah. Namun, perumahan yang ditempati oleh masyarakat berpendapatan rendah biasanya berkualitas buruk. (Hoffman dkk, 1991: 181) atau lazimnya berada di permukiman kumuh. Bahkan penyewa berpenghasilan rendah biasanya menyewa kontrakan yang tidak memiliki fasilitas toilet sendiri, sehingga mereka biasa berbagi fasilitas toilet dengan penyewa lainnya. The World Development Report mengatakan hanya 35% tempat tinggal di Jakarta memiliki akses air bersih. (dari jumlah tersebut, 20% lewat sistem air bersih kota dan 15% membeli air dari penjual air). (Lee, 1996: 586)
Pemerintah bukan tidak memiliki solusi dalam mengatasi fenomena tersebut, namun hal yang mengherankan adalah, banyak permukiman kumuh yang akan didisiplinkan ternyata memiliki sertifikat tanah dan bangunan yang resmi, bahkan sertifikat hak milik yang sebenarnya keluar jika rumah tersebut layak huni. Sehingga pemerintah aparatpun kebingungan untuk menangani permukiman kumuh tersebut.
Menurut Direktorat Jenderal Cipta Karya, salah satu kriteria yang perumahan yang layak huni adalah bebas dari polusi dan tersedia akses air bersih. (Surtiani, 2006: 41) Namun di permukiman kumuh, hal tersebut sangat sulit didapati, di mana permukiman kumuh tidak bebas dari polusi, terutama polusi udara, serta akses air bersih yang jarang mereka dapatkan. Tak jarang untuk memenuhi kegiatannya sehari-hari, penduduk permukiman kumuh di bantaran sungai menggunakan air sungai yang kotor demi memenuhi kebutuhan mereka akan air.
Menurut Kepala Bidang Sarana-Prasarana Lingkungan Hidup Suku Dinas Perencanaan Kota Jakarta Selatan, Mahruri, kompleksitas permasalahan pembenahan wilayah permukiman kampung kumuh adalah dari segi sosial masyarakat. Dia mengatakan, kebanyakan warga yang tinggal di kawasan kumuh adalah pendatang, sementara bentuk permukiman yang dibangun berupa bedeng-bedeng kontrakan. Hal ini menyebabkan pemerintah kesulitan untuk menata bangunan secara fisik dan lebih fokus pada lingkungan. (Syailendra, 2012)
Struyk dkk. (dalam Hoffman dkk, 1991: 191) menyimpulkan definisi gubuk dan petak –yang merupakan ciri rumah di permukiman kumuh –yang diungkapkan oleh Nelson (dalam Hoffman dkk, 1991: 191) dengan Representative Survey of Households in Urban Areas, yaitu terdapat 16 % penyewa tinggal di tempat kumuh, 5% Gubuk dan 16% petak. Ini menunjukkan angka masing-masing 2 % dan 4% dari penduduk kota. Disamping fakta seperempat jumlah rumah di jakarta adalah rumah kontrakan dan lebih dari setengahnya adalah gubuk dan petak.
Tentu saja jumlah tersebut lebih banyak daripada survei tersebut. Hal tersebut didukung oleh data UNESCO, pada tahun 2010 ada sekitar 1,2 miliar penduduk dunia saat ini masih tinggal di rumah tidak layak huni. PBB juga memperkirakan bahwa jumlah penduduk kumuh akan berlipat ganda dalam 25 tahun. Sedangkan kebutuhan rumah baru penduduk dunia saat ini sudah mencapai angka 200 juta unit, sementara angka pertambahan rumah sekitar 3 juta per tahun. (Anshari, 2010) Hal ini tentunya sangat genting, mengingat sebagai negara berkembang yang menuju ke tahap negara maju, Indonesia perlu memperbaiki segala sektor, seperti juga sektor perumahan di tengah kebutuhan perumahan yang makin meningkat.
Dampak negatif yang ditimbulkan oleh fenomena ini sangat pelik, salah satunya adalah premanisme yang tentu saja berbahaya dan akan mengganggu ketenangan masyarakat. Maka diperlukan solusi yang nyata dalam menangani fenomena ini, sehingga dapat menekan, bahkan mengatasi secara menyeluruh masalah yang ditimbulkan oleh kontrakan di permukiman kumuh. Dalam makalah ini, saya akan mengupas faktor-faktor yang menyebabkan munculnya rumah kontrakan di permukiman kumuh, kemudian dampak yang ditimbulkan oleh fenomena kontrakan di permukiman kumuh, dan solusi yang tepat untuk mengatasi fenomena tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana fenomena munculnya fenomena kontrakan di permukiman kumuh yang tidak lagi mengindahkan lingkungan untuk dilihat?
2. Seperti apa dampak dari fenomena kontrakan di permukiman kumuh yang tidak lagi mengindahkan lingkungan untuk dilihat?
3. Apa solusi untuk mengatasi fenomena kontrakan di permukiman kumuh yang tidak lagi mengindahkan lingkungan untuk dilihat?
4. Bagaimana bentuk ketersediaan fasilitas pemukiman sebagai indikasi pemukiman layak huni?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui bagaimana fenomena munculnya fenomena kontrakan di permukiman kumuh yang tidak lagi mengindahkan lingkungan untuk dilihat.
2. Untuk mengetahui seperti apa dampak dari fenomena kontrakan di permukiman kumuh yang tidak lagi mengindahkan lingkungan untuk dilihat.
3. Untuk mengetahui apa solusi untuk mengatasi fenomena kontrakan di permukiman kumuh yang tidak lagi mengindahkan lingkungan untuk dilihat
4. Untuk mengetahui bagaimana bentuk ketersediaan fasilitas pemukiman sebagai indikasi pemukiman layak huni.
BAB II
PEMBAHASAN
Munculnya kontrakan di permukiman kumuh tentu disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah motivasi masyarakat untuk memiliki tempat tinggal yang sangat tinggi. Tempat tinggal yang diinginkan dan ideal tentu saja dekat dengan fasilitas umum dan tempat mereka mengais rejeki. Otomatis masyarakat berlomba-lomba untuk mempunyai rumah dengan kriteria tersebut. Namun untuk sebagian kecil masyarakat yang tidak mampu untuk membeli rumah, atau mengontrak rumah dengan harga yang tinggi menyebabkan mereka memilih untuk mendirikan rumah secara liar, atau mengontrak rumah yang secara liar didirikan.
Urbanisasi merupakan faktor utama dari fenomena permukiman kumuh. Salah satu bukti adalah perantau di RT/RW 004/001, Sawangan Lama, Depok. Di sana fenomena Urbanisasi telah menjadi hal yang lumrah, bahkan karena mereka biasanya membentuk komunitas yang didasari kesamaan kampung halaman dan tinggal di satu kontrakan yang sama. Selain itu mereka juga banyak mengajak sanak saudaranya untuk ikut bekerja atau sekedar ikut tinggal di kawasan tersebut. Sebagian mereka juga bisa tahan tinggal di kontrakan yang kurang layak huni karena mereka lebih senang untuk mengumpulkan uang mereka untuk di kampung halaman mereka dibandingkan hidup bermewah-mewahan di kampung rantauan (Fachrozi, 2012).
Persebaran penduduk yang tidak merata dari desa ke kota juga menjadi titik balik peningkatan angka urbanisasi. Dalam sebuah riset, disebutkan bahwa sebagian besar penyewa dari kalangan menengah ke bawah adalah para pendatang dari pedesaan. (Hoffman dkk, 1991: 185) Selain itu, pesatnya angka pertumbuhan penduduk terutama di kota-kota besar, baik disebabkan oleh urbanisasi maupun kelahiran tidak sebanding dengan penyediaan sarana perumahan. Permasalahan ini tidak hanya menjadi isu pada kota-kota di pulau jawa, tetapi kota-kota di pulau lain yang sudah menunjukkan gejala serupa. (Bapedda Grobogan, 2012)
Kemiskinan juga menjadi salah satu penyebab seseorang menyewa kontrakan di permukiman kumuh, mereka tidak mempunyai uang yang cukup untuk membeli rumah, atau menyewa rumah yang layak huni, sehingga mereka memilih untuk mengontrak rumah yang lebih terjangkau dengan kantong mereka, tak lain adalah kontrakan yang berada di permukiman kumuh. Rumah–rumah kecil dibangun oleh orang-orang yang melihat peluang tersebut akibat keterbatasan lahan dan minimnya dukungan finansial tiap keluarga dalam membangun rumah dengan luas yang sesuai dengan kebutuhan. (Latief, Tanpa Tahun) Kemudian rumah tersebut dikontrakan dengan harga murah dan sangat terjangkau bagi warga miskin, meskipun rumah yang dikontrakan tersebut semi permanen (bahkan tidak permanen) dan tidak layak huni.
Daya jangkau terhadap berbagai fasilitas termasuk fasilitas umum dan tempat bekerja juga menjadi salah satu faktor mengapa muncul permukiman kumuh, terutama di pusat kota. Hal itu karena lebih memudahkan jangkauan masyarakat menuju ke tempat kerja. Ketersediaan sarana dan prasarana yang lengkap di pusat kota juga menjadi daya tarik masyarakat untuk tinggal di kawasan tersebut. (Surtiani, 2006: 2) Para migran, dalam memenuhi tempat tinggalnya mereka cenderung bermukim pada daerah-daerah yang mempunyai tingkat pencapaian yang mudah ke pusat-pusat pelayanan. (Fachrozi, 2012)
Pemahaman masyarakat atas hunian yang layak masih kurang. Pemerintah telah menawarkan berbagai macam solusi permukiman, bahkan Perumnas dalam Website BUMN mengungkapkan berbagai program, di antaranya Rumah susun sederhana sewa (Rusunawa), Rumah susun sederhana milik (Rusunami), Rumah tidak bersusun, dan Peremajaan kawasan permukiman kumuh. Namun berbagai solusi tersebut masih belum menuai hasil yang signifikan. Seperti rumah susun yang merupakan bangunan bertingkat, masyarakat masih merasa bila mereka belum tinggal di rumah bila tidak berada di atas tanah secara langsung. Sementara rumah susun tidak berada di atas tanah secara langsung sehingga mereka lebih senang tinggal di permukiman kumuh, meskipun mereka harus merasakan berbagai dampak negatifnya.
Pemerintah yang kurang fokus menangani masalah permukiman kumuh menjadi salah satu faktor, tak jarang banyak oknum aparat yang sering melakukan tindakan penggusuran kawasan kumuh di suap oleh masyarakat permukiman kumuh agar tidak digusur. Jikalau digusur, masyarakat yang bermukim di kawasan kumuh tidak tahu kemana lagi harus tinggal, otomatis mereka akan bergelandangan menjadi Tuna Wisma, ataupun membangun rumah lagi secara illegal di kawasan lain yang akan menimbulkan kekumuhan. Tak jarang juga mereka yang digusur membentuk kawasan kumuh yang bersifat semi permanen di kawasan yang sama setelah lepas dari pengawasan aparat.
Penyuapan tidak hanya dilakukan oleh masyarakat saat akan digusur, para pemilik kontrakan di kawasan kumuh bahkan menyuap oknum pemerintahan untuk membuatkan sertifikat tanah dan bangunan, bahkan sertifikat hak milik yang resmi, sehingga bangunan tersebut menjadi legal dan tak bisa ditertibkan. Hal ini membuat permukiman kumuh makin menjamur, dan makin banyak kontrakan bertebaran di kawasan kumuh.
2.2 Dampak dari Fenomena Kontrakan di Permukiman Kumuh
Dari faktor-faktor tersebut, banyak dampak yang ditimbulkan oleh fenomena kontrakan di permukiman kumuh, salah satunya adalah kondisi lingkungan yang memburuk dan berdampak buruk bagi kesehatan masyarakat yang tinggal di sana. Menurut Kepala Dinas Perumahan dan Gedung Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta, Novizal, Permukiman kumuh sirkulasi udaranya buruk, karena sinar matahari yang masuk terhalang oleh atap yang saling bertemu di sela-selanya, sehingga hal tersebut tidak baik bagi kesehatan. (Rachmita, 2012) Padahal permukiman yang baik seharusnya memiliki sirkulasi udara yang baik dan cahaya dengan mudah masuk untuk memberikan penyegaran agar daerah tersebut tidak gelap di siang hari dan dapat membunuh kuman penyakit.
Daerah kumuh memiliki drainase yang buruk, contoh di daerah Pancuran, Salatiga, kondisi drainasenya sebagian besar tidak dapat berfungsi dengan maksimal karena tidak adanya maintenance yang baik. Drainase-drainase kota bertemu pada kawasan ini karena letaknya dibawah aspal jalan. Karena tidak adanya pemeliharaan rutin maka banyak drainase yang tersumbat karena sampah pasar. Pada saat musim hujan turun air meluap demikian juga sampah yang menyumbat. Hal ini menyebabkan lingkungan kawasan permukiman ini menjadi kotor. (Surtiani, 2006: 125 – 126). Hal tersebut dapat berdampak buruk bagi lingkungan, yang tentu akan berdampak buruk bagi kesehatan masyarakat yang tinggal di daerah tersebut.
Dampak lain yang dapat menimpa permukiman kumuh, terutama yang berada di kawasan bantaran sungai adalah resiko bencana. Salah satu bencana yang dapat terjadi adalah banjir bandang yang bisa datang kapan saja. (Tim Ekspedisi Ciliwung Kompas, 2009). Contoh kasus adalah banjir bandang di Situ Gintung yang menghanyutkan permukiman yang berada di bantaran sungai. Sebenarnya kerugian atas bencana tersebut dapat di hindari bila daerah bantaran sungai bersih dari bangunan, termasuk rumah-rumah penduduk. Tak hanya banjir bandang saja yang dapat menimpa permukiman kumuh, namun juga banjir yang disebabkan oleh meluapnya air sungai. Kasus ini banyak terjadi di Jakarta dan juga di sekitar Sungai Bengawan Solo. Tentu saja banjir tersebut sangat merugikan masyarakat, mulai dari berhentinya aktivitas ekonomi, pendidikan, dan timbul beberapa penyakit.
Potensi lain yang dapat ditimbulkan oleh permukiman kumuh adalah terjadinya kebakaran yang serius. Karakteristik hunian yaitu kondisi rumah yang tidak sehat baik pencahayaan, udara dan toilet serta bersifat temporer, dimana tidak diperbaiki dengan baik. Hal ini sangat rentan terhadap kebakaran (Surtiani, 2006: v) Jarak antar rumah sangat rapat dan menjadikannya rawan jika kebakaran terjadi, api akan sangat cepat menjalar dari satu rumah ke rumah yang lain. Hal tersebut diperparah dengan kondisi jaringan jalan di permukiman kumuh yang sangat sempit. Padahal jalan yang ideal paling tidak harus bisa dilewati oleh kendaraan roda empat, hal ini berkaitan dengan kepentingan akses kendaraan pemadam kebakaran, untuk bantuan pemadaman kebakaran secepatnya. (Surtiani, 2006: 125)
Tak hanya dampak yang disebabkan oleh kondisi permukiman itu sendiri, namun juga dampak yang ditimbulkan oleh kondisi sosial, seperti munculnya premanisme di tengah masyarakat. Rata-rata pemilik rumah kontrakan membangun banyak rumah kontrakan di permukiman kumuh, sedangkan para penyewa seringkali tidak membayar uang sewa dengan tepat waktu dikarenakan lupa, atau kebutuhan ekonomi lain yang mendesak. Tak jarang ada penyewa yang bersih kukuh tidak ingin membayar uang sewa kepada pemilik kontrakan sehingga sang pemilik kontrakan menempuh jalur kekerasan untuk menagih uang sewa. Rata-rata penyewa yang tidak tepat waktu membayarkan uang kontrakan adalah yang tinggal di gubuk. 10% diantara pemilik kontrakan di permukiman kumuh bahkan pernah mengusir penyewa, rata-rata setelah 3 bulan tidak membayar uang sewa.(Hoffman dkk, 1991: 196) Dalam pengusiran atau penagihan hutang tersebut, preman sering dikerahkan untuk menjadi debt collector agar penyewa mau membayar uang sewa kontrakannya. Segala cara dilakukan agar uang sewa tersebut terbayarkan pada saat itu juga, termasuk melakukan kekerasan pengusiran paksa, dan penganiayaan. Jika tindakan premanisme ini dibiarkan, maka angka kriminalitaspun semakin meningkat.
Meskipun banyak dampak negatif yang timbul dari adanya fenomena kontrakan di permukiman kumuh, namun jumlahnya akan semakin bertambah bila tidak ditangani dengan serius. Banyaknya oknum aparat yang mudah untuk disuap tentu saja akan menambah jumlah permukiman kumuh yang dilegalkan. Oknum tersebut tidak hanya berada di lapis atas, namun juga oknum lapis bawah yang jumlahnya cukup banyak dan dapat dikatakan sangat terorganisir. Banyak yang memaklumi hal tersebut sebagai hal lumrah, namun ini adalah suatu tindakan yang mencerminkan bahwa birokrasi di Indonesia sangat kotor dengan yuridis yang sangat lemah.
Pertambahan jumlah kebutuhan akan perumahan menyebabkan jumlah permukiman kumuh bisa bertambah. Untuk Indonesia sendiri, kebutuhan rumah masyarakatnya pun diperkirakan sekitar 4 persen dari total kebutuhan rumah penduduk dunia. Hasil sensus penduduk nasional yang diumumkan baru-baru ini menunjukkan jumlah populasi Indonesia bertambah 35,5 juta orang dibandingkan tahun 2000 yang lalu. Luas lahan permukiman kumuh berdasarkan hasil pendataan pemerintah terus bertambah setiap tahunnya. Saat ini luasnya bahkan telah mencapai angka 57.000 ha. Luas lahan permukiman kumuh itu bertambah 3.000 ha dari angka 54.000 ha pada 2005. (Anshari, 2010)
Selain itu, pertambahan tersebut juga disebabkan oleh adanya pemilik kontrakan yang menambah investasi di dunia properti dengan memiliki lebih dari satu unit kontrakan (rata-rata memiliki 5,6). Mereka lebih banyak menyewakat gubuk dibandingkan rumah petak (7 berbanding 4) dan unit petak 10% lebih luas daripada gubuk. (Hoffman, dkk, 1991: 197) Hal ini mengindikasikan bahwa para pemilik kontrakan yang berinvestasi pada penyediaan rumah kontrakan cenderung membuat permukiman kumuh baru, mengingat lahan yang ada sangat sedikit dan mereka memanfaatkan hal tersebut untuk membuat Gubuk dan Petak kecil, agar pemasukkan yang mereka terima lebih banyak.
2.3 Solusi untuk Mengatasi Fenomena Kontrakan di Permukiman Kumuh
Saat ini, diperlukan solusi konkret dalam mengatasi fenomena tersebut. Salah satu solusi yang telah direalisasikan pemerintah adalah Rumah susun sewa sederhana (Rusunawa). Pembangunan rumah sewa sederhana diarahkan kepada tiga kebijaksanaan dasar yaitu Penyediaan rumah sewa oleh sektor non formal perseorangan, Pembangunan rumah sewa sederhana berdasarkan azas swadaya, dengan pengerahan sumber daya masyarakat setempat dan dengan pemberian subsidi yang diusahakan sekecil mungkin (Yudohusodo, 1997). Pembangunan rumah susun memiliki tujuan untuk menata kembali suatu kawasan kota, baik secara fisik maupun fungsional dan keuntungan ekonomisnya (Surtiani, 2006: 61)
Pemerintah telah membuat suatu undang-undang dalam Repelita V tahun 1989 – 1994 untuk memperbaiki kualitas dan menambah jumlah perumahan yang disewakan, dan Pemerintah juga telah menyadari perlunya pendekatan untuk pengembangan permukiman, seperti memfasilitasi proses pembangunan perumahan yang sudah ada, dan perlunya pemerintah bekerja sama dengan pihak swasta dalam menangani sektor perumahan sewa. (Hoffman dkk, 1991: 182).
Pemerintah telah memiliki tindakan nyata, yaitu melakukan sedikit pembangunan perumahan untuk masyarakat kalangan bawah, memberikan subsidi pinjaman kepada peminjam tertentu, dan insentif kepada pengembang swasta yang memberikan membangun perumahan murah. (Lee, 1996: 585)
Dalam membantu ketersediaan hunian bagi masyarakat miskin, Pemerintah diharapkan membangun permukiman secara gratis, baik dalam bentuk Rusunami maupun rumah tidak bersusun, meskipun sederhana namun layak huni, agar ekonomi mereka terbangun dan tidak perlu khawatir akan kehilangan tempat tinggal.
Untuk masyarakat menengah ke bawah, diberikan kredit kepemilikan rumah susun yang berbunga rendah atau disubsidi, diharapkan masyarakat mampu memiliki kesadaran untuk tinggal di permukiman yang layak huni. Antusias masyarakat untuk mendapatkan pinjaman sangat besar, terbukti pada penelitian Michael Hoffman bahwa rumah tangga yang tidak memiliki surat tanah resmi hampir sama antusiasnya dengan mereka yang memiliki surat tanah resmi dalam hal keinginan mendapat pinjaman. (Lee, 1996: 587) sehingga kredit kepemilikan rumah susun yang berbunga rendah atau disubsidi sangat efektif.
Tentu saja realisasi solusi tersebut harus memperhatikan 5 elemen, yaitu Alam, Manusia, Masyarakat, Bangunan, dan Jaringan (Doxiadis, 1968: 5) Sehingga penyediaan permukiman layak huni harus diimbangi dengan penyediaan fasilitas yang layak bagi masyarakat yang tinggal di tempat tersebut, yaitu tidak terganggu oleh polusi (air, udara, suara), tersedia air bersih, memiliki kemungkinan untuk perkembangan pembangunannya, mempunyai aksesibilitas yang baik, mudah dan aman mencapai tempat kerja, tidak berada dibawah permukaan air setempat dan mempunyai kemiringan rata-rata. (Surtiani, 2006: 122)
Selain itu, dalam merealisasikannya secara bertahap, penduduk permukiman kumuh harus direlokasi ke tempat yang lebih baik terlebih dahulu, sehingga kawasan permukiman kumuh yang lama dapat diremajakan dan diganti menjadi bangunan yang layak huni. Tentu tindakan relokasi haruslah manusiawi dan perlu dilakukan pendekatan terhadap masyarakat, agar masyarakat tidak kaget dengan kebijakan tersebut.
2.4 Ketersediaan Fasilitas Sebagai indikasi Pemukiman Layak Huni
Suatu pemukiman dapat dikatakan layak jika memenuhi standart yang sudah ditetapkan. Namun, ada kalanya ketetapan standatr dari berbagai badan yang berkaitan maupun pemerintah berbeda-beda. Pada umumnya, dalam hunian layak terdapat fasilitas-fasilitas meliputi penyediaan air bersih, penyaluran air kotor, sanitasi, pembuangan limbah padat, drainase dan jalan lingkungan. Penggunaan air bersih diperlukan terutama dalam aktivitas memasak, mencuci, mandi dengan jumlah kurang-lebih 60 liter per orang per hari. Penyediaan air bersih dapat dilakukan dengan oleh pihak pemerintah/swasta berupa sambungan langsung ke rumah atau keran umum. Bagi pemukiman di luar daerah pelayanan dapat menggunakan sumur air tanah dangkal. Masalah sanitasi air ini berpengaruh terhadap dampak kesehatan seperti penyakit kulit dan perut. Di sisi lain, air kotor diartikan sebagai buangan rumah tangga dan tinja. Penyaluran dapat melalui saluran kota ke instalasi pengolahan air limbah atau diolah secara individual dengan system cubluk atau septic tank. Ketiadaan fasilitas pengolahan air kotor ini dapat menimbulkan masalah kesehatan seperti penyakit perut.
Limbah padat biasanya berupa sampah rumah tangga terutama yang berasal dari kegiatan dapur. Bahan organik cukup dominan jumlahnya dalam sampah, sehingga bentuk sampah umumnya basah dengan sifat membusuk. Penanganan sampah ini harus dilakukan secara rutin agar tidak menimbulkan lingkungan kotor, bau tidak sedap dan tentu saja penyakit. Disamping itu fasilitas drainase juga mutlak tersedia dalam suatu pemukiman, karena tingkat penyerapan air hujan oleh tanak di kota relative kecil. Jika drainase ini tidak ada akan menimbulkan lingkungan becek dan dipastikan akan terjadi banjir, jika hujan terus-menerus datang. Dan terakhir, Jalan lingkungan sangat dibutuhkan sebagai sarana hubungan lokal antar warga masyarakat. Selain itu penting sebagai penghubung dengan daerah luar.
Semakin kompleksnya pengaturan masalah pemukiman di perkotaan, memunculkan standart baku lainnya berupa fasilitas lainnya demi memenuhi kritetia sebagai hunian layak. Selain fasilitas pembuangan dan akses air bersih, yang perlu dimiliki demi kejelasan sebuah pemukiman ialah kepastian akan hak penguasaan lahan berupa surat peryataan dan bukti sertifikat atau dokumen kepemilikan lainnya, sehingga dapat diketahui kejelasan kepemilikan lahan dan mencegah sengketa. Selain itu, pemukiman layak ditandai pula dengan adanya kejelasan ketahan rumah atau pemukiman. Dari indicator tersebut, dapat diketahui bagaimana struktur rumah, lokasi rumah dibangun dan material bangunan yang digunakan. Pemukiman atau hunian yang layak harus memiliki struktur yang sudah permanen, lokasi yang nyaman dan akses ke lingkungan luar yang lancar serta dibangun dengan menggunakan bahan bangunan dan material yang berkualitas baik.
BAB III
PENUTUP
Fenomena Rumah Kontrakan telah menjamur di berbagai tempat, salah satunya di kawasan kumuh yang banyak dijumpai diperkotaan. Munculnya Kontrakan di permukiman kumuh disebabkan oleh beberapa faktor yaitu motivasi masyarakat untuk memiliki rumah, urbanisasi, kemiskinan, strategisnya suatu hunian, kurangnya pemahaman masyarakat terhadap permukiman layak huni, pemerintah kurang fokus menangani masalah permukiman kumuh, dan oknum aparat yang disuap. Dampak yang ditimbulkan oleh fenomena kontrakan di permukiman kumuh yaitu memburuknya kondisi lingkungan berdampak bagi kesehatan masyarakat, resiko bencana munculnya tindakan premanisme, makin banyak oknum aparat yang disuap, bertambahnya permukiman kumuh.
Diperlukan solusi yang nyata dalam menangani fenomena ini, sehingga dapat menekan, bahkan mengatasi secara menyeluruh masalah yang ditimbulkan oleh kontrakan di permukiman kumuh. Antara lain mendukung memaksimalkan kebijakan pemerintah yang sudah ada (rumah susun), membangun permukiman secara gratis untuk masyarakat miskin, memberikan kredit kepemilikan rumah susun yang berbunga rendah atau disubsidi untuk masyarakat menengah ke bawah. Tentu saja realisasi solusi tersebut harus memperhatikan fasilitas yang akan diberikan pada permukiman yang menjadi solusi tersebut, dan melakukan pendekatan yang manusiawi dalam merealisasikan kebijakan tersebut.
3.2 Saran
Dari apa yang sudah dipaparkan diatas diharapkan pemerintah agar lebih tegas dan lebih memperketat dalam pembangunan pemukiman penduduk yang kini sudah menjamur hingga ke perkotaan. Salah satunya adalah mengenai pembangunan rumah susun yang memiliki tujuan untuk menata kembali suatu kawasan kota, baik secara fisik maupun fungsional dan keuntungan ekonomisnya.
DAFTAR PUSTAKA
Anshari, Andi. 2010. “Rumah Itu Bernama Indonesia” Dalam National Geographic Indonesia.http://fotokita.net/cerita /129829517400_0004390/rumah-itu-bernama-indonesia. Diunduh Selasa, 11 Desember 2012Ari. 2007. “Fenomena Perumahan Kumuh di Badung” dalam Balipost (online) http:// http://www.balipost.com/BaliPostcetak/2007/9/17/b20.htm diunduh Rabu, 12 Desember 2012
Bapedda Grobogan. 2012. “Isu Pembangunan Perumahan dan Permukiman”. Dalam Website Bapedda Grobogan http://bappeda.grobogan.go.id/info-pembangunan/89-isu-dan-permasalahan-pembangunan-perumahan-dan-pemukiman.html. Diunduh Selasa, 11 Desember 2012.
Doxiadis, Constantinos A. 1968. Ekistics: an Introduction to the Science of Human Settlement. New York: Oxford University Press.
Fachrozi, Irzan. 2012. “Fenomena Kaum Pendatang Di Sawangan Depok Studi Kasus: Kel. Sawangan Lama Rt. 004/Rw.001” dalam http ://bentukdanisi.blogspot.com /2012/07/riset-kecil-tentang-para-pendatang-di_26.html. Diunduh Rabu, 12 Desember 2012
Hoffman, M. L., dkk. 1991. “Rental Housing in Urban Indonesia” dalam jurnal HABITAT INTL. Vol. 15 No.12 Hlm. 181 – 206. Washington DC: The Urban Institute.
Anisa. 2015. Makalah Pemukiman Penduduk. http://4shared.blogspot.com. Diakses pada: Sabtu, 4 Agustus 2018
Istavita Utama. 2018. Makalah Pemukiman Penduduk. http://underpapers.blogspot.com. Diakses pada: Sabtu, 4 Agustus 2018
Download Makalah Pemukiman Penduduk